DALIH PELARANGAN BUKU

Undang-undang dan kebijakan lainnya yang mendasari pelarangan buku


Pasal 30 UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(3)Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
c.pengawasan peredaran barang cetakan;


Penjelasan Ayat (3):
Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama.
Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.




Pasal 1 UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum
(1) Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.


Kepja 190/A/JA/3/2003
Teknis pengawasan barang cetakan diatur dalam Kepja 190/A/JA/3/2003 tanggal 25 Maret 2003, di mana dibentuk sebuah badan bernama Clearing House. Komposisi Clearing House melibatkan multi-institusi seperti Kepolisian, Badan Intelejen Negara, TNI, Departemen Agama, dan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam menjalankan tugas tersebut, Kejagung dapat menerima laporan masyarakat, permintaan dari instansi lain, maupun pro aktif.


Kejaksaan Agung, penanggung jawab pelarangan buku dan barang cetakan lainnya


Berdasarkan mekanisme dan struktur kerja kejagung, pelarangan buku secara prosedural mengikuti proses demikian:
Berdasarkan laporan masyarakat, permintaan dari instansi lain, maupun secara proaktif, Sub-Direktorat Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan yang berada di bawah Direktorat Sosial Politik, dan pada gilirannya di bawah Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel) akan melakukan penelitian. Dari penelitian itu dihasilkan rekomendasi yang berisi keterangan judul buku, pengarang, penerbit, dan isi ringkasannya, serta permasalahan dan analisis. Rekomendasi itu dibawa ke Clearing House (CH), sebuah institusi internal Kejakgung yang diketuai JAM Intelijen, Direktur Sosial Politik sebagai ketua pelaksana dan Kepala Subdit Pengamanan Media Massa dan Barang Cetakan sebagai sekretaris, serta anggota tetap dari luar, yakni dari Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Nasional), BIA (Badan Intelijen ABRI), Polri, Depdikbud, Depag, dan Deppen.
  
Tugas CH adalah mengkaji dan menentukan dilarang atau tidak buku yang dikaji, yang hasilnya dibuatkan berita acara dan ditandatangani seluruh anggota. Hasil itu disampaikan kepada Jaksa Agung melalui JAM Intelijen. Berdasarkan pendapat dan saran dari CH, Jaksa Agung mengambil  langkah berikutnya, yaitu mengeluarkan SK pelarangan peredaran suatu terbitan atau barang cetakan bila dianggap berbahaya. Sebaliknya, mengeluarkan SK tidak melarang bila tidak berbahaya.


Kejaksaan Agung tidak pernah membuka seluruh proses peninjauan buku tersebut kepada publik, termasuk tidak pernah melibatkan penulis, penerbit, akademisi, maupun masyarakat sipil lainnya. Dan, setidaknya dalam kasus pelarangan Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa yang diterbitkan ISSI, tidak memberitahukan secara resmi pelarangan pada penerbit maupun penulis.


Akan tetapi, di atas semua itu, kewenangan kejaksaan sendiri untuk melakukan pelarangan buku dan barang cetakan lainnya sesungguhnya perlu dipertanyakan karena jelas bertentangan dengan perundangan-undangan yang melindungi kebebasan warganegara untuk berpendapat dan memperoleh informasi, seperti telah disebut di bagian A.


Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, pelaksana kewenangan kejagung untuk mengawasi buku dan barang cetakan lainnya dilaksanakan oleh Jam Intel. Jam Intel adalah bagian yang paling kental dengan unsur militeristik dalam tubuh institusi yang bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan tahap lanjut ini. Demikian penjabaran struktur, tugas, dan fungsi Jam Intel:







Kedudukan, tugas, dan fungsi Jam Intel berdasarkan Kepja No. KEP- 115/J.A/10/1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI adalah:


Tugas:
Pasal 130
Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial, politik, ekonomi, keuangan, pertahanan keamanan dan ketertiban umum untuk mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanaan dan atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketenteraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.


Pasal 131
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 130, Jaksa Agung Muda Intelijen menyelenggarakan fungsi :
a.perumusan kebijaksananaan teknis kegiatan intelijen yustisial berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya;
b.perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif maupun represif mengenai masalah ideologi, politik, media massa, barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, sumber daya manusia, pertahanan keamanan, tindak pidana perbatasan, dan pelanggaran wilayah perairan;
c.perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif maupun represif mengenai masalah investasi, produksi, distribusi, keuangan, perbankan, sumber daya manusia dan pertanahan, penanggulangan tindak pidana ekonomi serta pelanggaran zona ekonomi eksklusif;
d.perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif maupun represif mengenai masalah aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, persatuan dan kesatuan bangsa, lingkungan hidup serta penanggulangan tindak pidana umum;
e.pembinaan dan pelaksanaan kegiatan administrasi intelijen, peningkatan kemampuan, keterampilan dan integritas kepribadian aparat intelijen yustisial di lingkungan Kejaksaan;
f.pengendalian teknis pelaksanaan operasi intelijen sesuai dengan tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan;
g.pengamanan teknis di lingkungan Jaksa Agung Muda Intelijen dan pemberian dukungan penagaman teknis terhadap pelaksanaan tugas satuan organisasi lain di lingkungan Kejaksaan di bidang personil, kegiatan, materiil, pemberitaan dan dokumen dengan memperhatikan prinsip koordinasi;
h.pembinaan dan pelaksanaan kerjasama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi lain terutama dengan aparat intelijen lainnya.


Seperti telah disebutkan di atas, dalam kasus pengawasan terhadap buku dan barang cetakan lainnya, Jam Intel bekerja berdasarkan rekomendasi Sub-Direktorat Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan yang berada di bawah Direktorat Sosial-Politik. Masih berdasarkan Kepja No. KEP- 115/J.A/10/1999, fungsi Direktorat Sosial-Politik adalah:


Pasal 144
Direktorat Sosial dan politik mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Jaksa Agung Muda Intelijen di bidang ideologi, politik, pertahanan keamanan, ketertiban umum dan sosial  budaya.


Pasal 145
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 144, Direktorat Sosial dan politik menyelenggarakan fungsi :
a.perumusan rencana dan program kerja serta laporan pelaksanaannya;
b.penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang ideologi, politik, pertahanan keamanan, ketertiban umum, dan sosial budaya berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;
c.pelaksanaan kegiatan operasi intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan, penggalangan dalam rangka menegakkan hokum dan keadilan baik preventif maupun represif dan atau turut menyelenggarakan ketertiban, ketenteraman umum, pengamanan pembangunan serta hasil-hasilnya untuk menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan dalam mendukung operasi yustisi di bidang ideologi, politik, media massa dan barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, pertahanan keamanan dan ketertiban umum, aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama, suku, ras;
d.pengendalian dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan serta operasi intelijen yustisial agar lebih berdaya guna dan berhasil guna;
e.pelaksanaan kerjasama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi lain terutama dengan aparat intelijen lainnya;
f.penyusunan laporan intelijen berkala, insidentil dan pembuatan perkiraan keadaan mengenai masalah ideologi, politik, pertahanan keamanan, dan ketertiban umum;
g.pemberian dukungan pengaman teknis terhadap satuan kerja di lingkungan Kejaksaan di bidang personil, materiil, kegiatan pemberitaan dan dokumen.


Sedang fungsi dan tugas Sub-Direktorat Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan:


Pasal 151
Subdirektorat Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan dan operasi intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan dan penggalangan di bidang media massa dan barang cetakan.


Pasal 152
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 151, Subdirektorat Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan menyelenggarakan fungsi :
a.penyiapan bahan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang media massa dan barang cetakan berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengembangan teknis;
b.pelaksanaan pengumpulan, pengolahan bahan keterangan dan data mengenai media massa dan barang cetakan terhadap hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan dalam rangka pembinaan ketertiban dan ketenteraman umum;
c.pelaksanaan intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan, penggalangan untuk menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta mendukung operasi yustisi yang berhubungan dengan tindak pidana mengenai media massa dan barang cetakan;
d.penyiapan bahan pengendalian dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan dan operasi intelijen dan hasil-hasilnya;
e.penyiapan bahan laporan pelaksanaan rencana dan program kerja menghimpun dan mengadministrasi laporan mengenai masalah media massa dan barang cetakan dari Kejaksaan di daerah dan instansi lain untuk diteliti, diolah dan ditelaah dan disertai saran pendapat guna bahan pertimbangan bagi Direktur.


Subdirektorat Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan menurut Pasal 153 terdiri atas:
a.Seksi Media Massa
b.Seksi Barang Cetakan
c.Seksi Evaluasi dan Laporan.


Tugas masing-masing seksi adalah:
Pasal 154
(1)Seksi Media Massa mempunyai tugas melakukan pengumpulan dan pengolahan bahan keterangan dan data dari media penerbitan pers, media radio, televisi, media film dan media elektronik lainnya, sebagai bahan laporan intelijen berkala, insidentil dan perkiraan keadaan, serta melakukan kegiatan dan tindakan untuk mendukung operasi yustisi dalam rangka menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan di bidang media massa.
(2)Seksi Barang Cetakan mempunyai tugas melaksanakan pengumpulan dan pengolahan bahan keterangan dan data dari buku-buku, surat-surat yang dimaksudkan untuk disebarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak ramai, sebagai bahan laporan intelijen berkala, insidentil dan perkiraan keadaan, serta melakukan kegiatan dan tindakan untuk mendukung operasi yustisi dalam rangka menanggulagi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan di bidang barang cetakan.
(3)Seksi Evaluasi dan Laporan mempunyai tugas melakukan evaluasi dan laporan terhadap pelaksanaan dan hasil kegiatan pengawaasan media massa dan barang cetakan.


A.Kasus-kasus pelarangan buku selama era Reformasi


Kasus Pelarangan Lima Buku
Pada 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung RI menyatakan melarang peredaran lima buku, diantaranya buku yang diterbitkan ISSI pada 2007, yaitu Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa (DPM). Dalam talkshow yang disiarkan TVOne pada 28 Desember 2009, Kepala Pusat Penerangan Hukum, Didik Darmanto, melalui pembicaraan telepon menyebutkan bahwa keputusan pelarangan dikeluarkan setelah tim Clearing House (CH) mengkaji, diantaranya 143 item dalam DPM dan 20 item dalam Lekra tak Membakar Buku ... Akan tetapi kejagung tidak pernah mengumumkan tinjauannya atas buku-buku tersebut maupun bukti-bukti yang memperkuat tuduhannya. Demikian pula, kejagung tidak pernah mendiskusikan lebih lanjut dengan pihak-pihak terkait (penulis, penerbit, akademisi, dan masyarakat sipil) mengenai muatan materi dan dampak yang akan timbul dari diterbitkannya buku-buku tersebut. Di bawah ini adalah siaran pers kejagung tentang pelarangan buku tersebut.


Pelarangan Peredaran Barang Cetakan Berupa 5 Buah Buku
Menjawab pertanyaan wartawan terkait pelarangan peredaran buku / barang cetakan oleh Kejaksaan Agung, bersama ini disampaikan siaran pers sebagai berikut :
1.   Berdasarkan Annual Report Kejaksaan Tahun 2009 yang telah disampaikan oleh Jaksa Agung RI dan para Jaksa Agung Muda pada tanggal 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung telah mengumumkan pelarangan peredaran dan penggandaan barang cetakan berupa 5 (lima) buah buku, yaitu :
a.   Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-139/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, karangan John Roosa, Penerjemah Hersiri Setiawan, Penerbit Institut Sejarah Sosial Indonesia Jl. Pinang Ranti No.3 Jakarta, Hasta Mitra Jl. Duren Tiga Selatan No.36 Jakarta Selatan di seluruh Indonesia.
b.   Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-140/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri, Karangan Socratez Sofyan Yoman, Penerbit Reza Enterprise Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur diseluruh Indonesia.
c.   Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, Karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku Pugeran Maguwoharjo Jogjakarta, Desain Sampul Eddy Susanto diseluruh Indonesia.
d.   Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-142/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Enam Jalan Menuju Tuhan, karangan Darmawan, MM, Penerbit PT. Hikayat Dunia Jl. Jatayu Dalam II/5 Bandung, Perwakilan Jakarta : Jl. Kayumanis VII No.40 Jakarta Timur, Pencetak PT. Karyamanunggal Lithomas Bandung di seluruh Indonesia.
e.   Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-143/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 Tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Berupa Buku Berjudul Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, karangan Drs. H. Syahrudin Ahmad, Penerbit Yayasan Kajian Al-Qur’an Siranindi (YKQS) Palu Jl. Jambu No.50 Palu Sulawesi Tengah di seluruh Indonesia.
2.   5 (lima) Keputusan Jaksa Agung RI tersebut selain melarang peredaran dan penggandaan 5 (lima) buah buku tersebut juga mewajibkan kepada mereka yang menyimpan, memiliki, dan memperdagangkan barang cetakan tersebut untuk menyerahkan kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri setempat, dan mewajibkan kepada Kejaksaan, Kepolisian atau Alat Negara lainnya yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum untuk melakukan pensitaan terhadap barang cetakan tersebut dan pelanggaran terhadap Keputusan Jaksa Agung RI tersebut diancam dengan hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tanggal 23 april 1963 Tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tanggal 5 Juli 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.
3.   Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Jaksa Agung tersebut, Jaksa Agung RI telah mengeluarkan 5 (lima) Instruksi Jaksa Agung RI kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia dan Kepala Kejaksaan Negeri Seluruh Indonesia untuk melakukan pensitaan terhadap barang cetakan berupa 5 (lima) buah buku, yaitu :
a.    Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-002/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, karangan John Roosa, Penerjemah Hersri Setiawan, Penerbit Institut Sejarah Sosial Indonesia Jl. Pinang Ranti No.3 Jakarta, Penerbit Hasta Mitra Jl. Duren Tiga Selatan No.36 Jakarta Selatan di seluruh Indonesia.
b.    Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-003/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, tetesan Darah dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri, karangan Socratez Sofyan Yoman, Penerjemah Reza Enterprise Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur diseluruh Indonesia.
c.    Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-004/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku Pugeran Maguwoharjo Jogjakarta, Desain Sampul Eddy Susanto diseluruh Indonesia.
d.    Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-005/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Enam Jalan Menuju Tuhan, karangan Darmawan, MM, Penerbit PT. Hikayat Dunia Jl. Jatayu Dalam II/5 Bandung, Perwakilan Jakarta : Jl. Kayumanis VII No.40 Jakarta Timur, Pencetak PT. Karyamanunggal Lithomas Bandung di seluruh Indonesia.
e.    Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS-006/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Larangan Beredar Barang Cetakan Buku Berjudul Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, karangan Drs. H. Syahrudin Ahmad, Penerbit Yayasan Kajian Al-Qur’an Siranindi (YKQS) Palu Jl. Jambu No.50 Palu Sulawesi Tengah, Percetakan Trisan Grafika Jakarta di seluruh wilayah Indonesia.
4.   Kriteria pelarangan peredaran 5 (lima) buku tersebut didasarkan atas Pedoman/Tolok Ukur yaitu Mengganggu Ketertiban Umum. Pengertian Mengganggu Ketertiban Umum harus dihubungkan dengan dasar-dasar tata tertib kehidupan rakyat dan Negara pada suatu saat seperti merusak kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan nasional, merugikan akhlak, memajukan percabulan dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan terganggunya ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
5.   Termasuk Mengganggu Ketertiban Umum contohnya antara lain adalah barang cetakan yang berisikan tulisan-tulisan atau gambar-gambar/lukisan-lukisan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, GBHN atau sekarang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), mengandung dan menyebarkan ajaran/paham Komunis/Marxisme-Leninisme yang dilarang berdasarkan TAP MPRS XXV/MPRS 19966, merusak kesatuan dan persatuan masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan RI, merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan, merugikan dan merusak pelaksanaan Program Pembangunan Nasional yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasil yang telah dicapai.
6.   Terkait dengan Buku yang berjudul Membongkar Gurita Cikeas : Dibalik Skandal Bank Century, Karangan George Junus Aditjondro, Penerbit Galang Press, Kejaksaan Agung RI belum menentukan sikap karena Tim Interdep yang tergabung dalam “Clearing House” belum memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung RI, saat ini masih dilakukan penelusuran untuk dilakukan penelitian dan pengkajian atas buku tersebut.
Demikian Siaran Pers Puspenkum Kejaksaan RI untuk dipublikasikan.




                                                           KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM


                      
                                                                         DIDIEK DARMANTO, SH.MH
                                                    JAKSA UTAMA MUDA NIP. 195404291974011001




Kasus pelarangan buku Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat karya Sokratez Sofyan Yoman
Aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIJ kembali menyita 213 buku 'terlarang' . Buku-buku tersebut kini diamankan di Posko Satkom Kejati DIJ, Jalan Nyi Retno Dumilah No 39 Jogja, untuk selanjutnya dimusnahkan.


Buku warna merah karangan Sokratez Sofyan Yoman itu disita berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No KEP-052/A/JA/06/2008. Setelah mendapat SK yang ditandatangani Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kejati segera membuat surat perintah operasi intelijen yustisial dengan nomor PRINOPS- 06/O.4/Dsp.1/08/2008.


Menurut Kasie Sospol, Asisten Intel Kejati DIJ Asep Saiful Bachri, ratusan buku setebal 477 itu disita Kamis (7/8) pukul 10.00. Aparat langsung menyita buku yang tersimpan di gudang penerbit sekaligus percetakan Galang Press di daerah Baciro Baru, Jogja. Asep menyebut, buku itu telah melanggar ketentuan UU No 4/PNPS/1963 yang dikeluarkan tanggal 23 April 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum.


''Penerbit tidak salah. Hanya yang dipermasalahkan isi bukunya. Inti kesimpulan isi buku itu dikatakan, Papua Barat telah merdeka oleh sekutu sebelum proklamasi. Jadi kalau kita lihat setelah proklamasi Irian Barat tidak masuk NKRI,'' papar Asep soal isi buku yang dicetak 3.000 eksemplar itu.


Karena sebagian buku itu telah tersebar di masyarakat, Asep mengimbau agar diserahkan ke masing-masing Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi. ''Jika setelah disita masih ditemukan peredaran buku ini, maka pelaku akan ditindak sesuai hukum yang berlaku,'' tandasnya.


Sementara itu, saat dikonfirmasi Radar Jogja, pimpinan Galang Press Julius Felicianus menyangkal petugas telah menyita buku yang dinilai bisa memecah NKRI itu Kamis (7/8) lalu. Menurutnya, saat itu petugas dari Kejati hanya menyampaikan surat keputusan yang ditandatangani Jaksa Agung tertanggal 20 Juni 2008. ''Mereka hanya bawa satu eksemplar saja," katanya. Baru pada Jumat kemarin Galang Press yang menyerahkan buku-buku tersebut ke Posko Satkom Kejati DIJ. ''Itu itikad baik kami," ujarnya. Buku-buku yang diserahkan itu merupakan sisa dari cetakan yang tersimpan di gudang. Julius menyatakan pihaknya rugi hingga puluhan juta rupiah. Menurutnya, biaya total penerbitan dan percetakan buku itu mencapai Rp 45 juta.


Kasus pelarangan buku pelajaran sejarah
Penjelasan Jam Intel Muchtar Arifin tentang kasus paket buku pelajaran sejarah kurikulum 2004 yang diteliti Kejagung atas permintaan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas): melalui surat No. 143/MPN/PT/2005 tanggal 5 Juli 2005, Mendiknas meminta Jaksa Agung agar paket buku pelajaran sejarah kurikulum 2004 dilarang dan ditarik dari peredaran karena ada fakta-fakta sejarah yang tidak lengkap.


“Antara lain mengenai peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948, kemudian pemberontakan PKI 1965 yang hanya mencantumkan G30S tanpa menyebutkan keterlibatan PKI,” jelas Muchtar.


Atas permintaan tersebut, Kejagung kemudian menindaklanjuti dengan mengadakan penyelidikan. Untuk sementara, tim penyelidik menemukan 3 dari total 22 buku teks yang termasuk dalam paket buku sejarah kurikulum 2004, tidak mencantumkan kata ‘PKI’ pada bagian yang memaparkan peristiwa pemberontakan yang menewaskan 7 jenderal pada 30 September 1965.


Pelarangan Buku Lain (Laporan Jam Intel)


Tahun 2007
Pemeriksaan dan merekomendasikan barang cetakan terbitan dalam negeri, berupa :
Buku:
Jumlah Buku    :    1 (satu) judul
Judul Buku       :     "TENGGELAMNYA RUMPUN MELANESIA" Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat
Karangan          :    SENDIUS WONDA, SH., M.Si
Penerbit            :    DEIYAI Jl. Nafri No. 2 Kam Kei, Abepura, Jayapura – Papua Barat
Hasil Penelitian:    Isinya mengganggu ketertiban umum, sehingga menimbulkan kerawananan terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Hasil Clearing House:    Merekomendasikan kepada Jaksa Agung untuk melarang beredarnya buku tersebut.
Dilarang beredar dengan Keputusan Jaksa Agung R. I. Nomor: KEP-123/A/J.A/11/2007 tanggal 27   November 2007.


Majalah, sebanyak :
-    Diteliti               :    67    judul
-    Diteruskan         :    67    judul
-    Tidak Diteruskan :    -    judul


Tahun 2006
Pada tahun 2006, ditemukan beberapa barang cetakan berupa buku yang menjadi sorotan masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dan penyelesaian, yaitu:
1)    Buku ATLAS
• Masalah
Barang cetakan buku ATLAS yang mencantumkan  gambar bendera Bintang Kejora dengan label “WIRIAN” dan pembagian Propinsi Papua menjadi 3 (tiga) propinsi, yaitu Papua Barat, Papua Timur, dan Papua Tengah.


• Penyelesaian
Telah dilarang peredarannya dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-050/A/JA/06/2006 tanggal 16 Juni 2006 tentang larangan beredar barang cetakan buku ATLAS yang mencantumkan gambar bendera bintang Kejora dengan label “WIRIAN” dan pembagian Propinsi Papua menjadi 3 (tiga) propinsi, yaitu Papua Barat, Papua Timur, dan Papua Tengah.


2)    Buku berjudul “KUTEMUKAN KEBENARAN SEJATI DALAM AL-QUR’AN”.
•    Masalah
Barang cetakan buku berjudul “KUTEMUKAN KEBENARAN SEJATI DALAM AL-QUR’AN” penulis Drs. MAKSUD SIMANUNGKALIT Penerbit Yayasan Al-Hanif PO BOX 123 Batam Center.


• Penyelesaian
Telah dilarang peredarannya dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-051/A/JA/06/2006 tanggal 16 Juni 2006 tentang larangan beredar barang cetakan buku berjudul “KUTEMUKAN KEBENARAN SEJATI DALAM AL-QUR’AN” penulis Drs. MAKSUD SIMANUNGKALIT Penerbit Yayasan Al-Hanif PO BOX 123 Batam Center.


3)    Buku Teks Pelajaran Sejarah untuk Tingkat SMP/MTs dan SMA/MA/SMK
•    Masalah
Barang cetakan buku Teks Pelajaran Sejarah untuk Tingkat SMP/Mts dan SMA/MA/SMK yang mengacu pada “Kurikulum 2004” isinya tidak sepenuhnya mencatat fakta perjalanan sejarah bangsa Indonesia, antara lain peristiwa pemberontakan PKI Tahun 1965 hanya memuat keterlibatan G-30-S tanpa menyebutkan keterlibatan PKI.


•    Penyelesaian
Telah dilakukan operasi penyelidikan dan telah dibahas dalam rapat Clearing House Kejaksaan Agung RI tanggal 05 Desember 2006 yang kesimpulannya merekomendasikan kepada Jaksa Agung RI agar Barang cetakan buku Teks Pelajaran Sejarah untuk Tingkat SMP/Mts dan SMA/MA/SMK yang mengacu pada “Kurikulum 2004” dilarang.


4)    Buku SUKARNO FILE
•    Masalah
Barang cetakan buku “SUKARNO FILE” karangan ANTONIE C.A. DAKE laporan dari Yayasan Bung Karno kepada Jaksa Agung RI dengan suratnya nomor : 183/YBK/VI/06 tanggal 16 Juni 2006.


•    Penyelesaian
Masih dalam tahap pembahasan Forum Clearing House Barang Cetakan Kejaksaan Agung RI.


Tahun 2005
Pada tahun 2005, berkaitan dengan pemeriksaan barang cetakan, diketemukan beberapa barang cetakan berupa buku yang menjadi sorotan masyarakat, yaitu:


1)    Buku berjudul “Menembus Gelap Menuju Terang 2”
Buku tersebut diketemukan di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan sekarang ini masih diteliti lebih lanjut oleh Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia;


2)    Buku atlas berjudul “Atlas Lengkap Indonesia (33 Propinsi) dan Dunia”
Buku tersebut memuat gambar bendera Bintang Kejora dengan label WIRIAN dan pembagian peta Papua menjadi tiga propinsi, yaitu Papua Barat, Papua Timur, dan Papua Tengah. Terhadap buku atlas tersebut telah diambil tindakan pengamanan dengan Distribusi W Kejaksaan Seluruh Indonesia (R-1458/D/Dsp.2/11/2005 tanggal 15 November 2005). Buku atlas tersebut diterbitkan oleh Penerbit GBS Jakarta, Penerbit Karya Agung Surabaya, Penerbit Mitra Pelajar Surabaya, dan Penerbit Amelia Surabaya yang diterbitkan dalam kurun waktu tahun 2003 dalam jumlah yang cukup banyak dan beredar di kota-kota besar di Indonesia;


3)    Buku berjudul “Aku Melawan Teroris!”
Buku tersebut dikarang oleh Imam Samudra, penerbit Jazera – Solo, isinya mengajak seluruh umat, khususnya umat Islam untuk melakukan jihad melawan negara-negara yang menyakiti umat Islam, seperti Amerika, Australia, dan Italia. Imam Samudra dalam mengartikan jihad adalah pembantaian/pembunuhan, hal ini dilakukan berdasarkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist menurut kemauannya. Buku tersebut masih dalam pemeriksaan Tim Clearing House Kejaksaan Agung.

KASUS-KASUS PELARANGAN ATAU ANCAMAN PELARANGAN, DAN PENYITAAN BUKU SEPANJANG ERA REFORMASI

Negara, dalam hal ini kejaksaan agung, rupanya bersikukuh menganggap dirinya berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dibaca, diketahui, dan dipelajari warganegaranya. Semakin memudar ingatan akan gagasan yang mendasari gerakan reformasi 1998/99, agaknya kejaksaan agung semakin merasa leluasa untuk memulihkan kekuasaan usangnya ini.


Selama satu dekade era reformasi, kejaksaan agung telah sembilan (9) kali menerbitkan larangan peredaran buku; lima (5) kali mengumumkan sedang mengkaji buku-buku tertentu atau, dengan kata lain, mengancam untuk melarang peredaran buku-buku tersebut; satu (1) kali membiarkan institusi bawahannya yang tak punya kewenangan melarang dan menyita buku; dan satu (1) kali melakukan razia buku tanpa melalui prosedur resmi.


Kejaksaan agung agaknya berhati-hati dalam memulihkan kekuasaannya melarang peredaran buku. Mereka tidak memulainya hingga penghujung 2002, tiga tahun setelah gegap gempita gerakan reformasi mereda, dan itupun terbatas pada pemeriksaan/pengkajian (buku Ribka Tjiptaning, Aku Bangga menjadi Anak PKI, terbit Januari 2002). Pengkajian kejaksaan agung terhadap buku Tjiptaning dilakukan atas perintah Wakil Presiden Hamzah Haz: "Jika ada buku seperti itu, aparat seperti Kejaksaan harus melakukan penyitaan. Kalau untuk urusan ilmu pengetahuan, itu urusan lembaga pendidikan. Tapi penyebaran ke masyarakat tentang ajaran komunis, itu tidak boleh." (Pelita, 3 (?)/10/2002). Tiga tahun kemudian, kejaksaan agung mengumumkan sedang mengkaji dua buku lain yang dianggap memuat ajaran Islam yang sesat (buku karya Imam Samoedra dan Muhammad Ardhi Husein). Baru pada 2006 kejaksaan agung mulai benar-benar menerapkan kembali kekuasaannya untuk melarang peredaran buku. Dua buku yang dilarang pada 2006 itu, sebuah atlas yang memuat bendera Papua Merdeka dan buku yang dianggap menodai ajaran Islam karya Maksud Simanungkalit. Setahun sebelum bukunya dilarang oleh kejaksaan agung, Maksud Simanungkalit telah divonis penjara tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Batam. Pasal penodaan agama juga telah membuat Ardhi Husein, penulis buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, divonis lima (5 tahun) pada akhir 2005. Kejaksaan agung menyatakan akan mengkaji bukunya, namun hingga saat ini tidak ada kabar lebih lanjut apakah peredaran buku itu dilarang atau tidak.


Kasus pelarangan yang paling menggegerkan selama era reformasi terjadi pada 2007. Kejaksaan agung, setelah mengkaji 22 buku teks sejarah untuk SLTP/A, menerbitkan surat keputusan melarang 13 diantaranya karena dianggap memutar balik sejarah dengan mengacu pada Kurikulum 2004 (tidak mencantumkan ’PKI’ di belakang ’G-30-S’) dan tidak mencantumkan ’pemberontakan PKI di Madiun pada 1948’. Belum cukup melarang, institusi kejaksaan di berbagai daerah mempertontonkan aksi pembakaran ribuan buku teks pelajaran sejarah sambil mengabaikan protes dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dari kalangan sejarawan dan guru sejarah sendiri. Pada tahap eksekusi lapangan, Ikapi mengeluhkan bahwa petugas razia bukan hanya menyita dan memusnahkan 13 judul buku yang dilarang kejaksaan agung, tapi juga memperluasnya pada buku-buku teks sejarah lain, bahkan buku sejarah untuk tingkat SD (Kapanlagi.com, tanggal?). Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang misalnya, pada Juni 2009 melarang peredaran 54 buku teks sejarah sekaligus (www.Batamtoday.com, 19/6/2009). Ikapi juga memprotes proses penyitaan buku yang dilakukan dengan penggerebekan. Petugas razia dinilai memperlakukan penerbit seolah pelaku kriminal.
Setelah satu tahun berlalu tanpa ada pelarangan buku – setidaknya yang bersifat resmi -- keputusan jaksa agung untuk menerbitkan lima larangan sekaligus pada akhir 2009 lalu menjadi pukulan berikut bagi masyarakat. Jaksa agung, tanpa mengajukan bukti dan penjelasan lebih lanjut, menyatakan bahwa buku-buku tersebut dilarang karena mengganggu ketertiban umum. Masyarakat dengan mudah menduga bahwa pelarangan dua diantara lima buku tersebut, yaitu karya John Roosa dan Rhoma Dwi Arianti & Muhidin, adalah karena keduanya dianggap menyebarkan ajaran Dari kelima buku yang dilarang, dua diantaranya menyinggung atau berbicara tentang organisasi kiri yang pernah ada di Indonesia. Bersama dengan 13 buku teks sejarah yang dilarang, dengan demikian antara 2002-2009 ada 15 buku yang dilarang dan dua (2) buku yang diancam dilarang karena membicarakan atau menyinggung atau justru tidak membicarakan G-30-S, Peristiwa 1965, dan organisasi/gagasan/tokoh kiri. [Mengapa kejagung tidak melarang buku-buku kiri lain?]


Buku lain yang dilarang pada akhir 2009 ini adalah buku karya Socratez Sofyan Yoman yang mengungkap pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua. Di tengah produksi buku tentang situasi masyarakat Papua yang sangat minim, kejaksaan agung telah melarang dua buku diantaranya -- buku lain adalah karya Sendius Wonda, dilarang pada 2007 -- dan pada 2003 membiarkan institusi bawahannya, yaitu Kejaksaan Negeri Jayapura, melarang dan menyita cetakan pertama buku karya Benny Giay yang diterbitkan di Jayapura untuk konsumsi lokal. Pada 2006, kejaksaan agung juga melarang peredaran atlas yang memuat bendera Bintang Kejora di dalamnya. Kejaksaan agung juga rupanya berusaha menyasar buku-buku yang dianggap menodai ajaran Islam. Antara 2005-2009 ini ada tiga buku yang dilarang berkait dengan alasan tersebut, sedang dua buku lainnya dikaji sejak 2005 dan hingga saat ini tidak ada kabar lanjutan.


Gerakan reformasi berhasil merebut kembali hak warganegara untuk mengekspresikan pendapat melalui berbagai medium, diantaranya melalui buku. Sebagian buku dari sekitar 2.000 judul yang dilarang Rezim Orde Baru, yang dengan berbagai cara berhasil diselamatkan dari tindak penyitaan dan pemusnahan, beredar bebas di pasaran, diantaranya novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Di pasar buku bermunculan karya-karya baru para penulis kiri yang setelah selama puluhan tahun haknya untuk berekspresi dirampas. 


Terbukanya ruang berekspresi menggairahkan masyarakat untuk menghasilkan semakin banyak buku. Salah satu alat ukur adalah meningkatnya jumlah penerbitan buku per tahun. Sebelum krisis ekonomi 1997/98 jumlah buku baru yang diterbitkan hanya berkisar antara 5.500-6.000 judul per tahun dan bahkan menurun selama krisis menjadi 2.500-3.000 judul buku per tahun. Pada 2009 diperkirakan industri buku Indonesia sudah mampu menghasilkan 15.000 buku per tahun. Oleh karena itu, tindak kejaksaan agung melarang peredaran puluhan buku pada era reformasi ini jelas merupakan upaya pelan tapi pasti untuk kembali merampas hak warganegara untuk berekspresi dan untuk tahu dan, dengan demikian, bertentangan dengan gagasan reformasi itu sendiri.



BUKU-BUKU YANG DILARANG OLEH KEJAKSAAN AGUNG SELAMA ERA REFORMASI 

Selama era reformasi, Ada sembilan (9) kasus pelarangan buku oleh kejaksaan agung. Dalam satu kasus, yaitu kasus pelarangan buku teks sejarah untuk siswa SLTP/A, ada sekaligus 13 buku judul buku yang dilarang. Dengan demikian, selama satu dekade ini terdapat 21 judul buku yang dilarang.

15 buku yang dilarang menyinggung, membicarakan, atau justru tidak membicarakan (dengan cara yang diharapkan pemerintah) tentang G-30-S dan organisasi-organisasi kiri.

Tiga (3) buku yang dilarang membahas tentang pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua atau memuat bendera OPM.

Tiga (3) buku lainnya membahas tentang tafsir Islam.

Secara umum kejaksaan agung tidak melibatkan penulis maupun penerbit dalam proses pengkajian/pemeriksaan dan tidak mengirimkan surat pemberitahuan pelarangan kepada pihak penerbit.

Dalam kasus pelarangan 13 buku teks sejarah, institusi di bawah kejaksaan agung memperluas judul buku yang disita dan dimusnahkan.

Salah satu penulis buku yang dilarang, Maksud Simanungkalit, divonis hukuman penjara tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Batam lebih dari satu tahun sebelum bukunya dilarang.


BUKU-BUKU YANG TERANCAM DILARANG ATAU DILARANG/DISITA TANPA MELALUI PROSEDUR RESMI OLEH KEJAKSAAN AGUNG SELAMA ERA REFORMASI

Selama era reformasi, terdapat tujuh (7) buku yang terancam dilarang atau mengalami pelarangan/penyitaan tanpa melalui prosedur resmi:

Lima (5) buku terancam dilarang oleh kejaksaan agung

Dua (2) buku dilarang/disita tanpa melalui prosedur resmi (tanpa melalui pengkajian oleh kejaksaan agung/surat keputusan jaksa agung)

Dari dua buku yang dilarang/disita tanpa prosedur resmi: yang pertama dilarang beredar oleh tim razia kejagung (buku karya Nor Hiqmah), yang kedua dilarang beredar oleh Kejaksaan Negeri Jayapura (buku karya Benny Giay).

Pemeriksaan (baca: ancaman pelarangan edar) terhadap buku karya Ribka Tjiptaning pada Oktober 2000 menjadi awal kemunculan kembali tradisi pelarangan buku oleh kejaksaan agung.

Alasan pemeriksaan dan pelarangan/penyitaan yang melanggar prosedur adalah: buku mencemarkan nama baik/memfitnah kepala negara (2 buku), menyebarkan paham komunisme (2 buku) atau pandangan Islam yang menyesatkan (2 buku), atau meresahkan dan membahayakan persatuan nasional (1 buku).

Dalam kasus buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, penulis dan enam pengurus pondok pesantren yang  meminta perlindungan pihak kepolisian setempat dari aksi kekerasan massa yang tidak menyetujui isi buku justru dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian.  Mereka dianggap bertanggung jawab atas penulisan dan penerbitan buku tersebut.

Buku Benny Giay yang membahas tentang pembunuhan tokoh Papua, Theys Eluay, merupakan satu dari empat buku berkait dengan Papua yang dilarang beredar, atau satu dari tiga buku yang membahas kekerasan militer di Papua yang dilarang edar. Akan tetapi, secara tidak konsisten, pemerintah tidak melarang peredaran cetakan kedua buku yang sama.

Setelah bertahun-tahun, kejaksaan agung tidak pernah memberi pernyataan tentang kelanjutan pemeriksaan empat buku karya Ribka Tjiptaning, Imam Samoedra, Ardhi Husein, maupun Antonie Dake: apakah buku-buku tersebut masih dalam status pemeriksaan atau dinilai tidak perlu dilarang.

Dalam situsnya, kejaksaan agung menyatakan timnya sedang mempertimbangkan pelarangan edar 67 majalah


BUKU-BUKU YANG DIBAKAR OLEH KELOMPOK-KELOMPOK SIPIL 

Selama era reformasi terjadi dua kasus pembakaran buku – yang terakhir disertai razia ke toko-toko buku dan hunian mahasiswa – yang dilakukan oleh kelompok sipil.
Sasaran para pelaku adalah buku-buku yang membahas tentang pemikiran kiri atau ditulis oleh penulis kiri.

Para pelaku beralasan buku-buku tersebut menyebarkan ajaran komunis yang dilarang oleh Tap MPRS No. XXV tahun 1966

Dalam kasus pembakaran dan razia buku pada 2001, pemerintahan Gus Dur bereaksi melarang tindakan pelaku dan menurunkan aparat kepolisian untuk pencegahan. Reaksi serupa tidak ditemukan dalam kasus pembakaran buku pada 2009.


Powered By Blogger